Tentang Semasa



Buku yang sukses membangkitkan ingatan masa kecil. Tentang peristiwa-peristiwa di rumah simbah, di halaman rumah, di sawah, di warung sebelah, di jalan menuju sekolah, yang saling berebut untuk diingat. Tentang keributan-keributan kecil sesederhana siapa yang berperan jadi penjual dan siapa yang jadi pembeli. Tentang siapa yang lebih banyak memiliki kelereng. Tentang teriakan ketika ibu pulang menenteng Majalah Bobo. Tentang rengekan ketika minta dibelikan jepet kupu mentul-mentul persis seperti milik mbak sepupu. Menyenangkan untuk diinta, tetapi tidak untuk kembali ke masa itu.
  
Novel ini berkisah tentang penjualan sebuah rumah yang banyak menyimpan kenangan. Sejak awal keputusan itu sudah dibuat dan disepakati. Tetapi di tengah proses penjualannya ada kendala dan ternyata masih ada ketidakrelaan dari beberapa pihak.
  
Coro, si tokoh laki-laki, merasa bahwa kedekatannya dengan Sachi, sepupu perempuannya, sudah tidak seperti dulu lagi. Entah karena jarak yang memisahkan Indonesia-Belanda, komunikasi yang jarang terjalin, kesibukan masing-masing atau mungkin gengsi atas pencapaian sepupunya itu. I feel you, Coro. Sepertinya semua alasan itu menyumbang bagiannya masing-masing. 
 
Bagi Sachi, rumah Pandanwangi mungkin akan dijadikan salah satu tujuan pulang walau entah kapan. “... Pada saatnya semua akan tercerai berai kembali. Aku punya beberapa kelompok pertemanan, kawan-kawan peneliti yang selalu bertemu di Rabu malam untuk minum anggur. Beberapa dari mereka sebentar lagi akan kembali ke rumahnya masing-masing, Filipina, Nikaragua, Hungaria. Saat-saat seperti itu aku akan pulang ke kamar apartemenku yang sepi, bertanya ke mana aku akan pulang saat semuanya selesai. Sekarang, saat Papa dan Mama akan pindah ke Yunani, satu-satunya rumah yang masih memiliki ikatan denganku di sini adalah Pandanwangi, dan bapakmu, dan kamu.” (hlm.125) Lagi, I feel you, Sachi. Saat siang disibukkan dengan segudang aktivitas, tetapi ada kalanya di saat-saat sepi sebelum tidur muncul pertanyaan, ke mana aku akan pulang?
 
Saya jadi teringat apa yang dikatakan penulis, Kak Maesy, pada suatu sesi literasi yang pernah saya ikuti, yang kurang lebih begini, “Kita sering menganggap bahwa keluarga itu dikotomi, kalau bukan keluarga cemara ya keluarga broken home.” Padahal yang tengah memperjuangkan keduanya banyak. Yang tetap harmonis meski sudah tak utuh atau yang masih utuh tetapi tidak baik-baik saja.
 
Selepas menutup halaman terakhir, saya menerka-nerka bagaimana perasaan Bapak. Ketika akhirnya ditinggalkan orang-orang tercinta satu per satu. Istrinya yang telah lebih dulu dipanggil, ditinggalkan keponakan tersayang, bahkan anak kandungnya pun memilih tinggal di sebuah rumah kos. Dan kini, satu-satunya saudara sedarahnya juga memutuskan pergi meninggalkan Bapak. Meski ada teknologi yang bernama chatting, video call, tetap terasa berbeda dengan kehadiran fisik. Doaku jika cerita ini bukan sekedar fiksi, semoga beliau lekas dikaruniai cucu agar ada sosok makhluk kecil yang mungkin bisa mendistraksi hari-hari sepinya.
 
Novel yang ditulis oleh pasangan suami istri ini, mungkin akan menjadi salah satu bacaan yang habis dalam sekali duduk. Sampul novel ini memiliki desain yang mengingatkan saya dengan kabel listrik di tepi jalan. Latar sampul yang eye catching, dengan tiga garis dan dua burung dan judul di bagian kanan atas menjadikan sampulnya manis. Sayang tidak ada pembatas bukunya. Sepertinya kalau ada akan sangat lucu. Desain manis versi mini. Tetapi sampul bagian depan dan belakang  dibuat ada lipatannya yang mungkin fungsinya sebagai pengganti pematas buku.



Temanggung, 6 Maret 2020
Ditulis dalam perjalanan pulang


Comments

Popular posts from this blog

[ m e r a w a t r i n d u ]

Pembuatan Monosodium glutamate - Fermentasi

Pembuatan Monosodium glutamate - Refinery